1. Latar
Belakang / Sejarah Kampung Tugu
1.1.
Kampung Tugu
Menurut beberapa catatan
sejarah, asal usul Kampung Tugu ada beberapa versi yang antara lain menyebutkan
bahwa nama Tugu katanya sebagai tanda batas, tetapi ada juga yang berpendapat
bahwa Tugu diambil dari kata Por Tugu Esa (Portugis). Adapun pendapat yang lebih mendekati latar belakang sejarah
bahwa, nama kampung Tugu ada kaitannya dengan ditemukannya sebuah prasasti batu
berbentuk kerucut bundar dan bertuliskan huruf Pallawa dengan bahawa Sansekerta
yang kira-kira berasal dari abad IV, V Masehi. Prasasti itu merupakan salah
satu dari tujuh prasasti Raja Purnawarman di Jawa Barat yang merupakan sumber
sejarah untuk daerah itu.
Lebih cenderung nama Tugu dari
kesekian pendapat diatas, yang sangat mendekati boleh jadi nama asal usulnya
dari prasasti. Dimana sekarang tempat ditemukannya Prasasti Tugu oleh penduduk
setempat disebut Batu Tumbuh dan dianggap Batu Keramat, lama kelamaan lokasi
itu yang sering didatangi untuk pemujaan oleh masyarakat disebut Kampung Batu
Tumbuh. Walaupun batu prasasti sudah diangkat dan disimpan di Musium Nasional
pada tahun 1911. Anggapan demikian masih terdengar bekas-bekasnya bagi penduduk
Kampung Tugu yang sudah lanjut usia.
Sebagai monumen sejarah di
Kampung Tugu selain tempat ditemukannya batu prasasti, hasil peninggalan
kebudayaan Hindu sebagai babakan dari zaman Hindu, ada pula peninggalan dari
zaman kolonial VOC YAITU SEBUAH BANGUNAN Gereja Portugis Yang hampir berumur
lebih dari 2 ½ (dua setengah) abad.
Gereja Tugu 1747
Gereja tertua di Tanjung Priok,
Pemberian dari Tuan tanah Cilincing Jus Timur – Vinck
untuk masyarakat Kristen
di Tugu dan merupakan Gereja yang ketiga. Gereja Pertama
dan Kedua hancur
/ rusak karena terbuat dari papan dan bilik. Lokasi Gereja I dan II
sekarang
jadi Gereja Katholik “Salib Suci”.
Riwayat Gereja ini, tahun 1978
di Tugu telah ada bangunan Gereja darurat kemudian pada tahun 1737 oleh Pendeta
Dirk Jan Van Der Tydt didirikan Geraja yang kedua kalinya. Kemudian pada tahun
1740 sewaktu pemberontakan Cina di Batavia Gereja tersebut hancur di bakar
habis.
Gereja yang ketiga dibandung
pada tahun 1744 dan ditahbiskan pada tanggal 29 Juli 1747 oleh Pendeta Mohn,
Gereja tersebut adalah pemberian dari seorang dermawan bernama Justinus van Der
Vinck, yang pada waktu itu menjadi tuan tanah di Cilincing. Atas izin dari
Gubernur Jendral Van Im Bof sebagai Gubernur di Batavia, maka berdirilah sebuah
Gereja yang sampai sekarang ini dikenal dengan Gereja Tugu Portugis.
1.2.
Asal Usul Penduduk Tugu
Keturunan Portugis.
Menurut latar belakang sejarah
asal usul penduduk Tugu keturunan Portugism berasal dari tawanan – tawanan
perang yang terdiri dari daerah yang diduduki Portugis pada zaman itu, seperti
Goa, Malabar, Coromandel Bengal, Arakan, Malakka dsb.
Sebagian dari mereka ada juga
yang menjadi awak kapal laut Portugis yang dijadikan budak, tentara, buruh kuli
pelabuhan untuk mengabdi kepada Portugis. Setelah mengikuti rumah tangga orang
Portugis, budak dibaptis menjadi Kristen dan kemudian sering dimerdekakan. Karenanya
mereka disebut “Orang Mardika” (dari kata Sanskrit Mahardika, bebas : ejaan
Portugis Merdaqus merdeka).
Golongan ini kemudian menetap
dipelabuhan-pelabuhan yang disinggahi Portugis mendirikan kampung sendiri
dengan kepala kampung sendiri dan hidup menurut kebiasaan yang dibawa dari
tanah asalnya. Golongan Mardika ini sering disebut “Orang Portugis” oleh pihak
pribumi, untuk menjelaskan perbedaan dengan mereka sendiri, juga karena “Orang
Portugis” (walaupun lebih sering Portugis hitam) bernaung dibawah kewibawaan
Portugis, sesuai dengan ketentuan kebijaksanaan Pemerintah Portugal, tang
menganggap semua orang Kristen didaerahnya sebagai orang Portugis. Memang bagi
Pemerintah Portugis didaerah “Seberang Laut” Kristerius warga negara adalah
Agama, bukan warna kulit atau suku bangsa.
Penduduk Tugu keturunan Portugis
boleh jadi berasal dari masyaralat yang sudah Mardika pada abad XVII di
Batavia. Mungkin meraka pernah mengikuti kapal-kapal Portugis yang datang
berdagang di Jayakarta (dahulu Sunda Kelapa) dan kemudian bermukim di sekitar
benteng Jayakarta. Pada waktu Batavia jatuh ketangan VOC tahun 1619, orang
Mahardika ini memihak padanya, dan dimasukkan dalam pasukan VOC. Kemudian
sebagai pembalas jasa, kepada mereka dihadiahkan tanah, dan tanah Tugulah
mereka menetap serta hidup dengan kebiasaan yang lahir dari campuran darah dan
budaya. Walaupun demikian mereka menggangap diri tetap Portugis. Hal ini
terwujud dalam berbagai segi kehidupan terutama dalam penggunaan nama keluarga,
seperti Quiko, Da Costa, Mayo dst.
Sebelum perang dunia ke II di Kampung Tugu terdapat 60 kepala keluarga
sesudah perang selesai dan perang kemerdekaan Indonesia, maka orang-orang Tugu keturunan
Portugis mulai bercerai berai. Mereka banyak yang pindah keluar Tugu, ada yang
tetap di kota Jakarta, Jawa Barat, Irian Barat, Jawa Timur dan ke negeri
Belanda.
Menurut catatan informasi,
katanya sekarang di Kampung Tugu hanya terdapat kurang lebih 42 keluarga dan
kebanyakan dari mereka terdiri dari orang-orang tua, sedang yang lain tinggal
di Kota Jakarta. Meskipun sudah berjauhan Tugu tetap dikenang sebagai kampung
halamanya, sehingga kadang-kadang mereka datang berkunjung ke Tugu.
Sekarang keluarga besar Tugu
keturunan Portugis merupakan angkatan ke 8 (Delapan) yang masih ada, antara
lain :
1.
Keluarga
Abraham
2.
Keluarga
Andreas
3.
Keluarga
Cornelis
4.
Keluarga
Michiels
5.
Keluarga
Salomons
6.
Keluarga
Saymons
7.
Keluarga
Quiko (almarhum)
8.
Keluarga
Browne
2. Asal
Usulnya
Selama hampir 3 ½ abad, orang
keturunan Portugis ini banyak yang bercampur dengan suku bangsa lain dan
penduduk Pribumi seperti orang Belanda, orang Tianghoa, Ambon, Manado, Jawa dan
Sunda dsb. Keturunan mereka ini disebut orang “Mestizo” mereka hidup dalam
sistem Sosial dan sistem Budaya seperti Nenek Moyang mereka di Portugis.
Orang-orang Mestizo ini kemudian tidak hanya mendiami kampung Tugu, diantara
mereka ada juga yang bertempat tinggal di Penjaringan, Roa Malaka, Kampung
Bandan. Pejambon dan lain-lain. Tetapi pada setiap hari Minggu mereka ini
anggota Misa Jemaat Gereja Tugu hingga sekarang.
Dahulu Kampung Tugu ini sangat
terpencil yang jauh dari pusat keramaian, timbullah keinginan dari mereka untuk
membuat peralatan Musik ini, karena di daerah Tugu alamnya banyak tumbuh pohon
kayu yang mereka butuhkan untuk membuat peralatan tersebut, peralatan ini
bentuknya seperti gitar kecil yang ketika dimainkan berbunyi Crong, Crong …
Crong. Karena bunyinya inilah kemudian alat ini disebut “Keroncong” dan dari
sinilah lahir “Musik Keroncong”.
Keroncong sebagai salah satu
jenis kesenian Musik Tradisional yang tumbuh dan berkembang di daerah Tugu
sendiri pada tahun 1661 seperti yang dikenal sebagai “Keroncong Asli”. Kerena
musik ini diperkenalkan oleh orang-orang keturunan Portugis, meskipun dengan
sendirinya jenis irama musiknya banyak dipengaruhi oleh unsur kesenian bangsa
Portugis, bahkan pada waktu itu Orang-orang Belanda pernah berusaha untuk memperbaharui
Keroncong Tugu dan mempengaruhi supaya mengikuti kebudayaan Belanda. Namun
orang Tugu tetap mempertahankan kesenian musik Keroncong yang dianggap warisan
kesenian nenek motangnya dari orang-orang Portugis oleh mereka musik tersebut,
tetap dipertahankan dan dilestarikan sebagai pengikat identitas mereka. Dalam
perkembangan kemudian kesenian musik Keroncong boleh dikatakan sebagai salah
satu unsur pengikat komunitas masyarakat Tugu keturunan Portugis.
Lagu Keroncong yang pertama di
Indonesia ialah Keroncong Moresko. Di dalam bukunya yang berjudul “Portugese
Influense In Indonesia (1979) Antonio Pinto Do Franka, memberikan kata-kata
syaor tiga lagu Keroncong dalam logat Melayu Portugis yang masih dipakai di
kampung Tugu, sebelah Timur Jakarta, ia mencatat juga enestasi musiknya.
Lagu-lagu yang disebut adalah “Moresko” Frounga dan “Kafrinyo”. Manusia
menyebutkan juga lagu “Nina Bobo” dan keempat lagu itu merupakan Reportoire Asli Keroncong. Melihat kata-kata Syair lagu
tersebut. Jelas asalnya dari Portugis, dan nama lagu bisa diterjemahkan sebagai
berikut : “Moresko” adalah Moresco, Frounga berarti lagu untuk satu suara atau
(solo), Kafrinya berasal dari kata Cafrinha yang artinya lagu tarian yang
menggambarkan seorang Mestizo dari Gowa atau Negro Arfika (Eafro) yang sedang
menari berlompat-lompat. Nina Bobo berasal dari kata Portugis Menina, artinya
Gadis Kecil, sedangkan Bobo berarti tidur (logat Cina, Portugis, Melayu dan
Malaka). Irama keempat lagu ini memang gembira, cepat, dimaksudkan untuk tarian
rakyat” (1).
Kemudian Amir Pasaribu, dalam bukunya : Musik dan Selingkar
Wilayahnya”.
Moresko berasal dari
sebuah tarian Portugis yang bernama “Moreska” dan diassosiasikan di Indonesia
sebagai Keroncong Moritsku serta umumnya dianggap sebagai contoh Standar dari
pada Keroncong yang sesungguhnya. Jacobus Quiko (Almarhum), salah seorang
keturunan Portugis di Tugu menyebutkan Maritsko atau Moresko bersal dari bahasa
“Moor” (Moro).
Kata Keroncong berasal dari nama
mandolin kecil yang dikenal di Kampung Tugu, dan lagu Moresko merupakan asal
dari semua lagu Keroncong. Menurut pendapat Manusama, Moresko berasal dari
kata, Moro (Spanyol), Mouro (Portugis) dan Moor (Inggris), istilah ini
diassosiasikan dengan Golongan Arab Islam dalam abad VII – XV di Spanyol dan Portugal.
Yang mempengaruhi jalanya sejarah dan perkambangan Kebudayaan di sudur Benua
Eropa ini, malahan pengaruhnya terasa sampai ke Asia dan Nusantara.
Demikianlah musik Keroncong Tugu
terus dikembangkan, pada mulanya dimainkan oleh 3-4 orang dengan gitar kecil
sambil menyanyikan lagu-lagu yang Melankolis (senandung sedih), jenis gitarnya
yang dipakai mula-mula ada 3 macam yaitu : Gitar Frounga yang berukuran besar
dengan dawai 4, gitar Monica yang berukuran sedang dengan dawai 3-4, dan gitar
Jitera yang berukuran kecil dengan dawai 5.
Dalam perkembangan selanjutnya
pemakaian alat musik Keroncong ini ditambah dengan suling, biola, gendang
rebana, mandolin, Collo-kempul dan triangle (besi segi tiga) dengan sendirinya
pemainnyapun bertambah, begitu juga lagu-lagunya, diperluasi iramanya, ditambah
dengan irama Stambul dan irama Melayu.
Pada awal abad XX muncul
perkumpulan musik Keroncong yang diberi nama “Lief De Java” (Oud Batavia) yang
disponsori oleh orang-orang Belanda dengan pemainnya campiran, mereka
memodernnisir musik Keroncong Tugu dengan irama musik Jazz. Peralatan musiknya
juga ditambah dengan gitar melodi, okulele (Gitar Cuk) dan Contraboos. Para
pemain yang terkenal pada wkatu itu antara lain : Pak Dachram, Leo Spel dan
Sidik, sedangkan penyanyianya ialah Annie Landaow.
Dari Orkes Keroncong Oud Batavia
inilah yang kemudian berkembang menjadi musik Keroncong asli Jakarta seperti :
Orkes Keroncong Kemayoran yang dipimpin
oleh M. Sagi dan Sardi (Ayah Idris Sardi) karena pemainnya kebanyakan berasal
dari Betawi, banyak lagu-lagu dan Betawi yang dimainkan.
Dari Kemayoran, Orkes Keroncong
mulai tersebar keseluruh Indonesia terutama di pulau Jawa yang kemudian
bercampur dengan Langgam Jawa, yang sebut juga irama Keroncong Langgam, yang
mulai terkenal sejak masa revolusi penjajahan tahun 1945 sampai tahun 1950-an,
irama musik Keroncong ini beberapa tahun terakhir ini mulai menampakkan
ciri-ciri khas identitas ke Indonesiannya.
3. Peralatan
3.1.
Bahan dan Bentuk
Peralatan utama yang dipakai
dalam musik Keroncong ialah Keroncong itu sendiri, yaitu suatu peralatan musik
petik semacam gitar kecil yang mempunyai dawai lima buah. Pertama kali di
Indonesia peralatan ini dibuat oleh orang-orang keturunan Portugis yang bermukin
di kampung Tugu sejak tahun 1661. Bentuk aslinya tidak banyak berubah dengan
yang ada sekarang dawainya terbuat dari benang kasur atau senar.
Peralatan membuat alat musik
Keroncong di kampung Tugu ini sudah berlangsung turun temurun. Dalam pembuatan
ini diperlukan ketelatenan dan ketekunan. Kayu yang paling baik mutunya untuk
membuat Keroncong adalah kayu kembang kenanga yang berwarna putih ke
hijau-hijauan.
Pada masa-masa awal musik
Keroncong, kayu kembang kenanga cukup banyak ditemukan di kampung Tugu. Namun
lama kelamaan jenis kayu ini sukar diperoleh. Pada tahun-tahun berikutnya
mereka mulai membuat alat musik Keroncong dari bahan pohon kayu waru yang
mutunya juga cukup baik.
3.2.
Proses Pembuatan
Dalam pembuatan sebuah Keroncong
terlebih dahulu tentu saja dipilih kayu yang baik mutunya yaitu kayu yang
berwarna putih kekuning-kuningan, karena kayu ini umumnya sudah berumur tua.
Kayu ini biasanya ditebang pada sore hari, maksudnya agar kayu ini tidak mudah
dimakan rayap. Biasanya kayu ini dibeli satu pohon sekaligus dan ditebang
sendiri oleh pembelinya. Kayu ini dipotong-potong untuk ukuran satu Keroncong
berbentuk kubus panjang.
Untuk mendapatkan hasil sebuah
Keroncong yang baik, orang-orang Tugu membuatnya di dalam tanah, pada mulanya
tanah ini digali dan dibuat seperti model sebuah Keroncong. Lalu katu tadi juga
dibuat model sebuag Keroncong yang sama besarnya dengan lobang tanah tadi, kayu
ini dimasukkan ke dalam tanah, biasanya ukuran yang dipakai untuk satu
Keroncong ialah tebal badan 9 cm setelah potongan kayu ini dimasukan kedalam
tanah lalu dibuat bulatan yang letaknya lebih sedikit diatas pinggang dan
bulatan yang letaknya lebih sedikit diatas pinggang dan bulatan ini mulai
dilaksanakan pembobokan, secara perlahan-lahan pembobokan ini hanya dilakukan
melalui satu lobang saja yaitu bulatan tadi, itulah sebabnya maka pembobokan
ini dilakukan didalam tanah, hal ini dimaksudkan agar bentuknya atau bahan ini
tidak mudah berubah posisinya dan pelaksanaan pekerjaan ini dapat berjalan
dengan mestinya.
Jika kebiasaan orang Tugu
membuat Keroncong ini dengan cara membobok yaitu antara badan dan tutup