Beberapa pengamat memperkirakan optimisme bahwa perekonomian tahun depan akan cerah dan menjanjikan.
Indikator perekonomian Indonesia di akhir tahun 2010 ini memperlihatkan tanda- tanda positif. Cadangan devisa sudah mencapai angka sekitar 93 miliar dollar AS. Indeks saham BEI sudah mencapai angka di atas 3600. Rupiah cukup kuat bergerak di sekitar Rp 8900 – 9100/USD. Ketiga hal tersebut menguat disebabkan oleh aliran modal asing ke Indonesia yang sangat luar biasa, khususnya ke pasar modal dan pasar uang. Termasuk, naiknya harga-harga komoditas dasar di pasar global membuat perekonomian Indonesia semakin membaik. Di samping itu, gaya pemerintahan sekarang yang sangat pro pasar bebas, sehingga para investor asing merasa sangat nyaman berbisnis di Indonesia. Oleh karena itu, dalam jangka pendek perekonomian Indonesia memiliki prospek yang sangat bagus, dan di tahun 2011 perekonomian Indonesia akan semakin membaik.
Untuk pembangunan ekonomi domestik, Djayendra melihat distribusi uang dari sektor perbankan ke sektor usaha sudah semakin membaik. Peran bank umum besar dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) semakin luar biasa untuk membantu keuangan usaha kecil menengah. Saat ini mendapatkan modal usaha dari bank untuk usaha kecil menengah mungkin tidak sesulit zaman dulu. Sekarang bank semakin memahami kekuatan usaha kecil menengah dan memiliki motivasi yang sangat luar biasa untuk membantu keuangan usaha kecil menengah. Artinya, perekonomian domestik dengan kekuatan usaha kecil, menengah, dan usaha non formal akan memperkuat fondasi perekonomian domestik Indonesia di sepanjang tahun 2011.
Diperkirakan perekonomian Indonesia di tahun 2011 akan tumbuh di kisaran 5,8% – 6,2%. Rupiah akan berada di sekitar Rp 8900/9400 per dollar Amerika Serikat. Sangat percaya di tahun 2011 perjalanan perekonomian Indonesia akan terlihat seperti di tahun 2010.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan di tahun 2011 adalah
1. Pemerintah harus lebih fokus untuk pemerataan dan pembangunan ekonomi domestik.
2. Industri dalam negeri harus lebih dilindungi dan jangan dibiarkan menjadi korban dari industri murah China.
3. Jangan terlalu terlena dengan angka-angka ekonomi makro, tapi perhatikan sifat dari angka-angka ekonomi makro tersebut.
4. Manfaatkan momentum positif perekonomian Indonesia di tahun 2011 untuk memperkuat fondasi sektor usaha perkebunan, pertanian, perikanan, dan energi.
5. Manfaatkan potensi kreatifitas masyarakat Indonesia untuk memperkuat fondasi ekonomi domestik.
6. Alam Indonesia yang luar biasa indah ini seharusnya mulai dikelola secara profesional untuk menarik lebih banyak wisatawan mancanegara.
Resiko & Tantangan Ekonomi di 2011
Komite Ekonomi Nasional dalam buku Prospek Ekonomi Indonesia 2011 menuturkan ada sejumlah tantangan dan risiko yang perlu diantisipasi Indonesia di tahun depan.
Pertama, tantangan atas kemungkinan terjadinya gelembung nilai aset (asset bubble) dan inflasi, karena kurangnya daya serap ekonomi nasional terhadap masuknya modal asing, termasuk jangka pendek.
Kedua, terhentinya arus modal masuk dan bahkan terjadinya penarikan kembali modal masuk dalam jumlah besar. Pengendalian dan mitigasi arus modal serta kemungkinan arus balik disebabkan kesalahan mengantisipasi arus modal menjadi risiko yang harus diperhatikan.
Kesalahan dalam mengambil kebijakan, keterlambatan mengambil tindakan serta kurang koordinasi antar pembuat kebijakan juga dapat berakibat buruk terhadap stabilitas makro yang sudah terjaga selama ini.
Ketiga, subsidi energi dan alokasi yang kurang efisisien. Selama ini, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) masih dinikmati orang mampu (berpenghasilan tinggi). Terkait masalah ini, Ketua Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung mengatakan yang wajib mendapat subsidi ialah orang miskin, orang mampu sebaiknya tidak dapat subsidi.
Keempat, risiko inflasi terutama dipicu komponen makanan, pendidikan, dan ekspektasi inflasi. Inflasi Indonesia yang masih tinggi, menurut Chairul Tanjung, karena selama ini kita hanya mengandalkan kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mengelola demand (permintaan).
Padahal, lanjutnya, selain faktor demand, inflasi juga dipengaruhi faktor suplai atau tersedianya barang dan faktor distribusi yang harus diperhatikan.
Kelima, infrastrukstur dan interkoneksi (transportasi) yang kurang memadai.
Chairul menuturkan, tahun ini Indonesia menjual mobil sebanyak 760 ribu. Jika dalam lima tahun ke depan tidak ada penambahan jalan secara signifikan khususnya di Jakarta, akan terjadi kemacetan. Begitu pula, dengan airport dan pelabuhan.
Keenam, peningkatan daya saing, perbaikan pendidikan, dan pelatihan serta penambahan pasokan tenaga teknik terdidik yang menjadi penghambat bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi produk (utamanya yang padat karya), menghambat investasi dan mengurangi penciptaan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Masalah daya saing Indonesia masih tertinggal dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand.
Ketujuh, daya serap atau belanja pemerintah (pusat dan daerah) yang masih belum optimal.
Kedelapan, risiko yang berkenaan dengan kondisi politik dan hukum yang terjadi. Hingga kini, kinerja DPR dalam menyelesaikan legislasi, pembuatan undang-undang (UU), termasuk UU yang berkaitan dengan upaya mendorong pembangunan ekonomi masih jauh dari harapan.
Kesembilan, risiko perubahan iklim, bencana alam, dan krisis keuangan yang datang secara mendadak. Semestinya, risiko ini sudah dapat diatasi dengan baik mengingat kita telah belajar dari pengalaman dalam beberapa tahun belakangan ini.
Kesepuluh, tantangan risiko global, seperti pemulihan ekonomi negara maju masih akan lama, sehingga berdampak pada pemulihan ekonomi dan perdagangan dunia.
Kesebelas, Geopolitical-Geoeconomy G2 mengenai persoalan ketidakseimbangan ekonomi dunia, perang kurs dan potensi perang korea yang sangat tergantung pada G2 (China-AS), bukan G20. Hubungan saling membutuhkan, "Benci tapi rindu" AS-China, yang harus mencari penyelesaian secara kooperatif. Serta risiko gagal bayar utang negara-negara Eropa. (hs)
Disadur dari:
http://iklanpos.co.id/?p=2730 (tgl 20/05/2011 jam:12.00)
http://bisnis.vivanews.com/news/read/194917-ini-risiko-ekonomi-indonesia-di-2011 (ygl 20/05/2011 jam 11.30 )
Kamis, 19 Mei 2011
Minggu, 08 Mei 2011
TINGKAT INFLANSI 10 KOTA DI INDONESIA PADA TAHUN 2005-2006
NO | KOTA | 2005 | 2006 |
1 | Banda Aceh | 41.11 | 9.54 |
2 | Padang | 20.47 | 8.05 |
3 | Jakarta | 16.06 | 6.03 |
4 | Bogor | - | - |
5 | Bandung | 19.56 | 5.33 |
6 | Depok | - | - |
7 | Yogyakarta | 14.98 | 10.40 |
8 | Tanggerang | - | - |
9 | Makasar | 15.20 | 7.21 |
10 | JayaPura | 14.15 | 9.52 |
14.153 | 5.608 |
Keterangan:
Penyebab inflansi tinggi pada tahun 2005
1. 1. Inflasi tahun 2005 dengan nilai sebesar 17,11% adalah inflasi tertinggi pasca krisis moneter Indonesia (1997/1998), tekanan akan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga minyak di pasar internasional menyebakan Pemerintah berusaha untuk menghapuskan subsidi BBM. Hal tersebut sangat mempengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia mengingat konsumsi BBM mencapai 47.4 % (tahun 2000) dari total konsumsi energi Indonesia.
KENAIKAN harga BBM 1 Oktober 2005 makin menambah beban berat rakyat kecil dan berpenghasilan tetap, yang belum berkurang sejak kenaikan 1 Maret 2005. Kenaikan harga barang dan jasa pada triwulan I tahun 2005 meningkat lebih besar dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu, bahkan dibandingkan semester sebelumnya.Kenaikan tertinggi pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 10,21%, diikuti kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (3,46%), kelompok perumahan 2,52% dan kelompok bahan makanan 1,21%. Keempat kelompok tersebut merupakan kelompok yang mengalami dampak terbesar dari kenaikan harga BBM.
Kenaikan harga BBM kali ini akan meningkatkan harga barang-barang lebih tajam dibanding yang lalu. Hal ini terjadi karena kenaikan harga BBM lebih tinggi, ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian nasional makin melemah dan nilai tukar rupiah yang melemah.
Inflasi kadang-kadang berarti juga penerimaan yang lebih tinggi dari pemilik sumber daya. Jika dipandang dari sisi penerimaan, pada tingkatan tertentu inflasi tidak buruk. Tetapi apa pun alasannya, inflasi yang tinggi jauh di atas pertumbuhan ekonominya tetap mengundang kepedihan dan kekecewaan bagi rakyat.
Penyebab inflansi pada tahun 2006 mengalami penuruna
2. Pada tahun 2006 yang lalu, kita kembali meraih kestabilan makro ekonomi. Berbagai indikator, yang pada tahun 2005 mengalami tekanan, di tahun 2006 mulai menunjukkan perbaikan. Tekanan inflasi yang cukup tinggi di awal tahun 2006, turun secara perlahan tapi pasti. Inflasi pada tahun 2006 mencapai 6,6% , atau berada di bawah kisaran sasaran yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan menurunnya inflasi, Bank Indonesia memiliki ruang untuk secara bertahap menurunkan BI Rate, dan sepanjang tahun 2006, Bank Indonesia telah menurunkan BI Rate sebanyak 300 basis points dari 12,75% menjadi 9,75%. Penurunan tersebut diambil untuk mempertahankan persepsi positif pelaku ekonomi, mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga stabilitas di pasar keuangan ditengah arus modal masuk untuk portfolio placements yang meningkat.
Stabilitas moneter yang cukup terjaga tersebut, yang didukung pula oleh kinerja Neraca Pembayaran Indonesia yang relatif baik dengan surplus sebesar 2,4% dari PDB dapat menyumbang pada stabilitas nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2006. Dan, karena itu perekonomian pun memiliki ruang untuk tumbuh lebih meluas (broad-based). Sejak paro kedua 2006 fase ekspansi perekonomian nasional mulai terlihat, meskipun belum cukup berimbang karena masih adanya berbagai hambatan pada iklim investasi dan ekonomi biaya tinggi. Investasi tumbuh lebih lambat dibanding tahun sebelumnya, sementara, ekspor dan permintaan konsumsi swasta masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi di keseluruhan tahun 2006. Dan, sejak paro kedua 2006 kita sudah mulai melihat peningkatan pertumbuhan kredit yang diikuti dengan percepatan belanja Pemerintah, sehingga ikut mendorong pertumbuhan ekonomi, yang diperkirakan akan mencapai 5,5% .2. Pada tahun 2006 yang lalu, kita kembali meraih kestabilan makro ekonomi. Berbagai indikator, yang pada tahun 2005 mengalami tekanan, di tahun 2006 mulai menunjukkan perbaikan. Tekanan inflasi yang cukup tinggi di awal tahun 2006, turun secara perlahan tapi pasti. Inflasi pada tahun 2006 mencapai 6,6% , atau berada di bawah kisaran sasaran yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan menurunnya inflasi, Bank Indonesia memiliki ruang untuk secara bertahap menurunkan BI Rate, dan sepanjang tahun 2006, Bank Indonesia telah menurunkan BI Rate sebanyak 300 basis points dari 12,75% menjadi 9,75%. Penurunan tersebut diambil untuk mempertahankan persepsi positif pelaku ekonomi, mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga stabilitas di pasar keuangan ditengah arus modal masuk untuk portfolio placements yang meningkat.
Referensi:
- http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/06/opi03.htm (OlehIhwan Sudrajat kamis 06 oktober 2005) diambil tgl 08/05/2011 pukul:20:20
· - http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=211&Itemid=76 (oleh Burhanuddin Abdullah
Gubernur Bank Indonesia Kamis, 22 Maret 2007 ) diambil tgl 08/05/2011 pukul: 20:25
Gubernur Bank Indonesia Kamis, 22 Maret 2007 ) diambil tgl 08/05/2011 pukul: 20:25
Langganan:
Postingan (Atom)